Kamis, 01 Juni 2017

Alasan Dokter di Luar Indonesia Pelit

Alasan Dokter Negara Maju "Pelit" Memberikan Obat ke Anak

Belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dr. Knol.

"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.

"Ha? Just wait and see?" batinku meradang.
Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,
"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau!

Setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
"Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39 derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!"

Sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis. Tibalah saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama. Banyak negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng, kami mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisart.

"Just drink a lot," katanya ringan.

"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.

"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak."
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme dan madu.

Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.

Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?"

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."

"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,"

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.

Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
"Batuk - pilek beserta demam yang terjadi 6 - 12 bulan masih wajar.observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun."

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan penanganannya, Pertama, obat diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda 'dipaksa' tak pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih baik. Mereka jarang sakit.

Aku tercenung mengingat 'pengobatan rasional'. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara termasuk Amerika Serikat,dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen tersedia di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama anak demam.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan ketidakmampuan,penyakit anak sehari-hari, orang desa relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar,cukup berduit,melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya.Kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum

Semoga mencerahkan ya bunda-bunda, saya dapetnya dari artikel suami..

Sumber: http://ibuhamil.com

Rabu, 10 Mei 2017

Pengalaman Kuret dan Malaikat Kecil Kesayangan ALLAH

Bismillahirrohmanirrohim

Tulisan ini Saya dedikasikan kepada dedenya #babyPutri yang sangat disayang sama alloh dan insyaAlloh jadi syafaat kami, orang tuanya di Syurganya kelak. Amiiin

Awal Tahu Kalau Hamil
Bermula di suatu hari secara tidak sengaja saya merasakan ada keanehan pada bagian perut dan mengingat kalau saya memang belum menstruasi stelah menstruasi terakhir di tanggal 16 Februari, perut terasa lebih berbeda dari biasanya, dan saya beranggapan kalau mungkin saya Hamil, Alhamdulillah.

Tapi yang kontras dari pengalaman sebelumnya adalah, berat badan berbanding terbalik alias semakin menurun dan belum merasakan tanda - tanda ngidam seperti kehamilan sebelumnya. Karenanya saya beranggapan kalau saya belum boleh terlalu berharap makanya saya coba menganggap kalau mungkin cuma perasaan saya saja.

Keesokan hari kemudian, junior di departemen saya makan bakso, mendadak saya merasa tidak suka dengan aromanya, walaaaah jadinya koq hari itu berasa sama dengan pengalaman hamil sebelumya, jadilah saya sepulang dari kantor menyempatkan diri membeli 2 (dua) alat pendeteksi kehamilan lewat air seni (testpack).

Keesokan harinya di pagi hari, saya langsung mencobanya, dan hasilnya + (positif), Alhamdulillah saya hamil lagi. Karena saking senangnya, saya kemudian mengambil gambar hasilnya dan mengirimkannya kepada suami yang saat itu masih on duty di kapal (laut makassar), beliau menyambutnya dengan alhamdulillah.

USG Pertama
Karena saya penasaran dengan keputusan dari dokter tentang hasilnya dan ingin melihat langsung isi rahim saya. Tepat tanggal 18 April 2017, saya memutuskan untuk melakukan USG di dokter Devi, S.Pog di Rumah sakit Grestelina, Makasar. Jadual tetap ibu dokter langganan saya ini dari hari senin - Sabtu dari jam 7 malam, tapi jika ingin masuk sebagai antrian harus mendaftar dari pagi, kecuali jika ingin kehabisan nomor antrian (full). Saya mendaftar dari jam 10 pagi dan sudah berada diantrian nomor 10.

Singkatnya, saya akhirnya datang tepat ditanggal 18 April dan hasilnya memang sudah ada janin dalam rahim saya yang menurut perkiraan hasil USG sudah berusia 5 minggu atau 1 bulan lebih. Alhamdulillah.

Menjalani Hari sebagai Ibu Hamil
Karena ini sudah kehamilan kedua, saya beranggapan kalau tidak apalah keluarga tidak semua tahu tentang kehamilan saya, jadi yang tahu hanya saya, suami, teman akrab, ummi dan keluarga di sinjai serta tante dari suami yang jaga si KK Putri.

Saya menjalani hari demi hari seperti biasa namun masih menunggu waktu - waktu ngidam seperti di kehamilan sebelumnya, namun ngidam itu tidak juga kunjung menunjukkan tanda - tanda. Saya akhirnya beranggapan kalau mungkin beda anak, beda tanda kehamilannya dan kali ini memang tidak dikasi ngidam.

Kalau sebelumnya memasuki minggu ke 5, saya sudah tidak doyan dengan nasi, membenci aroma bumbu dan membeci bakso dan ikan bandeng serta malas dekat - dekat dengan nafas suami. Tidak hanya itu, apapun yang saya makan pasti keluar dengan sukses. Ternyata Allah punya rencana dibaliknya

Kecapean dan Perjalanan Jauh
Semua berjalan lancar hingga diusia kehamilan 8 minggu, namum memasuki usia 9 minggu, berita duka menyeruak dikeluarga kami. Kakek kandung papa putri  yang tinggal di Desa Sengka Bontonompo berpulang pada hari kamis (27/4) yang menyebabkan seluruh keluarga berkumpul disana. Jadilah aktivitas pulang balik ke rumah do Tombolo - ke kantor - Bontonompo setiap hari selama 2 hari naik mobil, motor dan angkutan umum bermula.

Selain perjalanan yang kurang nyaman karena sepanjang jalan banyak lubang dan jalan rusak, asap rokok dan rasa capek juga jadi penyokong utama. Belum lagi sampai di kantor harus berlama - lama duduk ditambah padatnya hari sepulang dan sebelum kekantor karena mengurus si kakak Putri.

Pendarahan Pertama
Pada hari jumat (7/5), jam 12 siang saat saya sedang mengerjakan laporan bulanan, tiba - tiba saya merasa ada cairan merembes. Buru - buru saya ke ketoilet dan menemui kalau itu adalah darah, saya kaget bukan main diiringi debar jantung dan rasa takut. Saya berusaha rileks, berharap bisa meredam rasa takut dan anggapan negatif.

Karena rasa takut tidak kunjung reda, saya akhirnya bercerita ke teman kerja kalau saya mengalami hal ganjil dan saya butuh pertimbangan, lanjut kerja atau ke dokter dulu atau seperti apa. Setelah mendapat masukan dari teman, akhirnya saya memutuskan untuk ke Rs. Pertiwi yang notabene jaraknya tidaklan terlalu jauh dari kantor dibanding ke Rs. Grestelina tempat dokter rutin saya berada. Memang sih, pada malam hingga pagi hari saya sempat mengalami mules berkepanjangan tapi saya kira hanya karena mules pengen buang air besar.

Sesampai di Rs.Pertiwi, saya yang ditemani rekan kerja yang sudah seperti Saudara sendiri langsung ke IGD, disana sebelum di periksa harus menunggu dokter dulu sekitar 20 menitan. Karena fasilitas USG di IGD sangat kurang akurat alias alatnya sudah terbilang kurang update. Karena saya pertama kalinya ke Rs.Pertiwi, saya merasa agak risih, selain ditangani oleh dokter laki - laki, perawat anak koas dari daerah yang baru 2 hari  juga tidak ada kain penutup untuk pasien yang setidaknya berfungsi melindungi privasi.

Selanjutnya, karena alat usg yang kurang memadai tadi di IGD, saya diarahkan ke Lantai 2 di ruang persalinan. Disana alatnya sudah lumayan hanya saja kain penutupnya yang juga tidak ada, jadilah teman saya menggunakan jaketnya untuk menutupi bagian yang terangkat karena gamis saya harus disingsingkan.

Setelah sang dokter memutar kesana - kemari alat pendeteksinya kurang lebuh 15 menit, beliau langsung berdiri dan meninggalkan saya, 2 menit kemudian beliau datang kembali bersama dokter laki - laki lainnya yang kelihatannya kebih senior. Dokter kedua itupun melakukan hal yang sama, memutar kekiri dan kekanan alat usg di perut saya.

3 menit kemudian, beliau langsung menanyakan  kesediaan saya untuk kuret. Saya kaget, takut dan sedih bukan main. Mata saya berkaca - kaca dan meminta waktu untuk berkonsultasi dengan dokter saya dan keluarga termasuk suami. Setelah pertimbangan yang matang, saya akhirnya meminta untuk pulang dan konsultasikan dengan keluarga dan Dr. Devi yang sudah menangani saya dari sejak anak pertama. Beruntung saya menggunakan kartu BPJS yang ditanggung perusahan jadi sampai saya pulang saya tidak membayar sepeserpun di RS. Pertiwi.

Pengecekan di RS. GRESTELINA
Sepulang dari Rs.Pertiwi, saya kembali melanjutkan pekerjaan kantor karena harus buru laporan untuk  keperluan data Accounting. Setelah selesai,  saya tidak langsung ke rumah akan tetapi singgah ke Rs. Grestelina langsung mendaftar ke IGD untuk pengecekan lebih lanjut perihal pendarahan dan pertimbangan dokter di Rs. Pertiwi.

Setelah menunggu sambil baringan di IGD bed 8 dari jam 5 sore sampai jam 8 malam (dokter S.pog bpjs malam memang praktek mulai jam 7 malam), akhirnya saya dibawa ke ruangan dokter spesialis Obgyn (kandungan). Seperti biasa, saya ditangani oleh dr. Deviana. Setelah ditimbang berat badan dan tensi, saya kemudian di USG.

Dr. Deviana memberitahukan kalau janin dan kantongnya masih ada, kemudian ibu dokter menyarankan istrahat total sambil mengonsumsi obat penguat kandungan. Di resep, disarankan mengonsumsi 1 jenis obat minum dengan merk "plasminex" dan 1 jenis obat lainnya dimasukkan kedubur dengan merk "cygest" 5 biji, kalau tidak salah.

Setelah membayar biaya admin dan konsultasi sebesar Rp. 220.000 serta obat sebesar Rp. 201.000 saya akhirnya bersiap untuk pulang dengan dijemput suami, ipar dan anak. Kali ini,  saya memang harus membayar langsung karena saya terdaftar sebagai pasien umum karena jika menggunakan BPJS harus daftar pagi, sedangkan jika melalui IGD  harus rawat inap untuk bisa gratis bayar.

Sepulang dari rumah sakit, seharusnya saya istrahat total sesuai petunjuk dokter, tapi karena keluarga harus mengunjungi acara keluarga lagi di kampung dan saya terpaksa ikut karena di rumah juga saya sendiri dikarenakan hanya suami yang bisa bawa mobil ke kampung, daripada sendiri di rumah takut kenapa - kenapa.

Ternyata perjalanan kali ini dan kurangnya istrahat lagi, ini juga yang akhirnya harus membawa saya kemudian ke IGD Rs.Grestelina lagi pada hari Senin sore (8/5) karena pendarahan semakin bertambah disertai rasa sakit pada bagian perut bawah. Setelah melalui prosedur seperti pada hari jumat sebelumnya, akhirnya masuk ke ruangan dokter spesialis lagi, ketemu dengan dokter Deviana dan melalukan USG lagi. Dokter tidak punya pilihan lagi kali ini, saya harus melakukan curretation alias harus di kuret.

Saya tidak bisa berkata - kata lagi kali ini, lidah saya kaku dan suara saya serasa tidak mau keluar lagi. Kata dokter, Syarat untuk menjalani Kuret, harus ada pembukaan di mulut rahim. Dokter kemudian melalukan pemeriksaan dalam, hasilnya belum ada pembukaan rahim. Saya dikasi dua pilihan, mau opname atau memunggu pembukaam dirumah sambil diberikan obat pembuka jalan lahir (rahim).

Saya bingung, disisi lain saya mau semua berjalan lancar tapi disisi lain saya memikirkan putri kecil saya menunggu dirumah yang jika malam selalu mencari ASI dari Bundanya. Setelah pertimbangan, akhirnya saya memutuskan pulang dulu sambil menunggu pembukaan jalan lahir. Dokter memberikan resep 2 jenis obat yang alhamdulillah obat ini ditanggung BPJS. Merk obat pertama adalah "Bledstop" dan yang satunya lagi "Gastrul". Saya disarankan minum keduanya setiba di rumah. Kali ini saya membayar biaya konsultasi dan administrasi sebesar Rp. 300.000.

Setiba di rumah, saya langsung  menyiapkan tas yang berisi perlengkapan yang kira - kira saya butuhkan jika keadaan darurat. Barang - barang itu adalah : Sarung 4 lembar, pembalut, pakain dalam 4 lembar pakaian ganti 1 pasang, air minum, uang secukupnya dan dokumen yang kira - kira dibutuhkan. Untuk peserta BPJS, upayakan memiliki surat rujukan dari faskes I ke Rs. Agar saat darurat bisa langsung digunakan karena rujukan berlaku hingga 1- 3 bulan.

Setelah saya rasa semua sudah lengkap, saya bersiap untuk minum obat yang diberikan dokter sebelum tidur. Dasar saya yang selalu ingin tahu, saya browsing manfaat kedua obat tersebut dan efek sampingnya. Ternyata hasilnya, tidak baik untuk ibu menyusui karena dapat menyebabkan diare buat bayi yang disusui (sampai saya hamil dan keguguran saya masih memberi ASI pada baby Putri).

Alhasil, saya batal meminum obat yang diberikan dokter hingga saya ke pembaringan. Di pebaringan, saya sulit terpejam karena kontraksi yang semakin sering dan panjang diiringi pendarahan yang lambat laun semakin banyak. Akhirnya, tepat jam 12 tengah malam, saya memutuskan untuk ke rumah sakit karena pendarahan sudah tidak bisa saya atasi. Pembalut, pakaian dan 1 sarung sudah dipenuhi darah. Akibatnya saya sempat kehilangan kesadaran beberapa saat dan sempat merasakan seolah nafas terputus - putus.

Secepat kilat, sang suami telah mempersiapkan segalanya untuk berangkat ke Rumah sakit. Dengan diantar suami dan ditemani tante dari suami yang sehari - hari menjaga baby putri di rumah, kami bergegas ke IGD Rs. Grestelina lagi. Baby putri terpaksa saya tinggal di rumah dengan neneknya. Dia sedang tidur pulas saat saya bergegas ke Rs.

Di IGD, kami kembali melalui prosedur seperti sebelumnya. Pendaftaran pasien, dan lain - lain. Setelah dokter penanggungjawab IGD menghubungi dokter saya, akhirnya diputuskan saya harus di opname dan diberi obat untuk membuka mulut rahim.

Setelah dipasang infus ke lengan kiri saya, Si obat yang diresepkan sebelumnya akhirnya aplikasikan namun tidak dengan diminum  karena saya mengatakan kalau saya sedang menyusui. Akhirnya setelah proses pendaftaran selesai dan kamar sudah siap, saya dipindahkan ke ruang perawatan Cendana 321. Disanalah si obat dimasukkan langsung ke mulut rahim jadi tidak akan mempengaruhi kualitas ASI saya nantinya.

Obat yang dimasukkan hanya 1 tablet merk Gastrul saja akan tetapi dengan 1 tablet saja, efek obat yang diberikan subhanalloh. Sepanjang malam kontraksi tiada henti dan pendarahan terus berlanjut. Saya berusaha menahan semua rasa sakit yang saya alami. Rasa sakit fisik maupun batin karena harus kehilangan bayi kami.

Kira - kira pukul 3 dini hari, saya berencana buang air kecil, bukannya air kecil malah pendarahan kembali terjadi yang menyebabkan saya pusing dan terpaksa duduk untuk menghindari pendarahan semakin parah. Saya meminta tante yang menjaga untuk memanggil suami yang tidur diluar kamar dan perawat segera. Setelah si perawat datang, segera saya di tensi lagi dan rawat dan kemudian berganti sarung untuk dibaringkan kembali di tempat tidur.

Prosedur Kuret
Setelah semalaman suntuk menahan sakit pada bagian perut bawah dan merasakan limpahan gumpalan darah keluar seenaknya, rasa sakit itupun perlahan sirna kala waktu subuh menyapa. Pukul 6.30, suami memberi tahu kalau dokter saya sudsh tiba dari pukul 6.15 karena ada operasi, dan saya adalah pasien antrian ke dua.

Setelah menikmati sarapan dari petugas rumah sakit yang baik hati, saya diminta persiapkan diri untuk masuk ke ruangan OK (operasi). Padahal sebenarnya sebelum operasi disarankan untuk tidak makan dan minum, akan tetapi pemberitahuan datang saat sarapan sudah hampir saya habiskan. Hehe

Masuk ke ruangan OK (operasi) yang sama sudah tidak terlalu menakutkan bagi saya karena ini sudah yang kedua kalinya setelah sebelumnya operasi Secar (SC) anak pertama. Prosedurnya sama, berganti pakaian, melepaskan perhiasan dan berbaring di pembaringan eksekusi. Perbedaannya kali ini, saya tidak lagi dibius setengan badan, akan tetapi dibius total.

Yang saya ingat adalah, saat saya dibaringkan, kaki saya disangga dengan alat khusus dan dibuat ngangkang *maaf. Kemudian bapak dokter petugas anestesi datang dari arah kepala saya membawa jarum suntik yang saya yakini berisi obat bius. Obat tersebut disuntikkan tepat di selang infus saya sebanyak dua kali. Hanya butuh kira - kira 10 detik, mendadak penglihatan saya kabur dan kemudian saya tidak ingat apa - apa.

Saya terbangun saat perawat memanggil nama saya. Ibu Ratih..... Ibu Ratih..... saya perlahan membuka mata saya, saya berusaha mengingat ruangan tempat saya berbaring. Yes, saya ingat.... saya berada diruang pemulihan yang sama dengan posisi tempat tidur yang sama dengan tahun lalu. Alhamdulilaaaah ya alloh, semua berjalan lancar. Saya menoleh kesebelah kanan dan melihat jam dinding menunjukkan angka 8.05. Itu artinya kurang lebih 30 menit saya di ruang OK.

Kalau tahun lalu saat saya selesai di operasi saya menangis karena haru ada bayi mungil disebelah saya, kali ini saya saya menangis karena sedih bayi saya harus pergi dengan cara yang tega. Saya menumpahkan segala sedih saya karena belum bisa menjaga calon bayi kedua kami. Haya butuh kurang lebih 1 jam, saya sudah digantikan pakaian oleh para perawat baik hati dan kemudian diboyong kembali ke ruang perawatan 321.

Rasa sakit yang saya rasakan sepanjang malam, setelah sadar tidak saya rasakan lagi sama sekali. Badan saya kembali seperti kembali ke keadaan semula yang tidak mengalami sakit sedikitpun. Cuma yang mejadi penanda adalah, masih adanya sisa darah yang terus keluar layaknya datang bulan.

Dokter memberitahu kalau jika sudah ingin pulang, sore hari juga sudah pulang. Alhamdulillah. Dokter memberikan dua jenis obat lagi untuk pemulihan. Satu obat berfungsi sebagai anti biotik "Cefadroxil" dan satu obat lainnya berfungsi untuk menghentikan pendarahan "Asamnex 500".

Penbayaran untuk obat - obatan, cairan infus 2 botol, dokter dan perawat, rawat inap dan prosedur pelaksanaan Kuret, semua ditanggung BPJS Full alias saya tidak membayar seperpun. Terima kasih BPJS, terima kasih Ibu Dokter Devi, terima kasih para perawat dan terima kasih RS.Grestelina. Hingga tulisan ini saya terbitkan, alhamdulillah tidak ada keluhan yang berarti efek setelah operasi kecil Kuret.

Itulah sharing pengalaman saya tentang kuret. Semoga bermanfaat dan bisa menambah pengetauan semua pembaca. Pesan saya, semua titipan yang allah Amanahkan mohon dijaga dengan sebaik-baiknya dan jangan ceroboh seperti saya jika tidak ingin berbuah penyesalan kemudian. Fii amanillah.

Semoga saya masih diberi kesempatan untuk mendapatkan amanah dari Allah berupa keturunan yang sehat, sholeh dan sholehah dimasa yang akan datang. Amiiiin... Allohumma amiiin

Tombolo, 10-13 Mei 2017 (23:41)

Latifah Ratih

Perkembangan 1 Tahun 2 Bulan

Senin (8/5) #putrisholehah diajak papa makan #pizza

Pas tiba, walaaaah maunya eksplore seluruh ruangan sambil tunjuk - tunjuk2 komputer. Ini karena Bunda sering kasi buat otak atik laptop, jadinya liat layar langsung mau sentuh dan pegang.

Hari ini #babyputri berusia 14Month8Days, sudah sangat aktif dan energik pake banget.Sekarang sudah banyak gaya, makan aja pake gaya ala dia sendiri. Tukang nyontek apapun itu.

Perkembangan Berbicaranya, sekarang sudah sering ngoceh sendiri meski baru beberapa ucapan yang bunda ngerti. Biasanya dibarengi dengan bahasa tubuh jadi Bunda ngertinya cepet.

Sehat teruski Nak.

#baby14Month8Days
#babyeating
#pizzahutalauddin
#pencintasalad
#wijaperempuanbugis

Senin, 17 April 2017

Kambing Pemberian Kakek

Salah satu agenda #babyputri pulang kampung, selain mengunjungi kakek nenek dan keluarga besar di sinjai, yaaah salah satunya nengokin ternak dan kebun #babyputri yang dipelihara kakek dan om.

Kambing putih yang sudah jenggotan ini usianya lebih tua dua minggu dari #babySholehah kami. Makanya, kakek dari Bunda memberikan kepada #babyputri sebagai hadiah tepat di hari aqiqah anak sholehah kami.

Sebenarnya dikasinya dua ekor, tapi yang seekornya lagi yang sudah lebih besar, dipotong pas hari aqiqah.

#wijaperempuanbugis
#wijaperempuanbugispulangKampung
#13month15Daysold
#kampungSinjai
#kampunghalaman

Belajar Memberi

MEMBERI

Memberi tidak harus mahal,
Memberi tidak harus banyak,
Memberi tidak harus berharap balasan.

Memberi itu harus ikhlas,
Memberi itu harus tulus,
Memberi itu harus dengan niat karena Alloh

Karena sejatinya Rejeki itu dari Allah yang daripdanya juga ada rejeki milik mahluk Alloh yang lainnya.

Model : Putri & Zizi (Kucing)
Tempat : Rumah Nenek, Sinjai

#13month15Daysold
#babyquotes
#wijaperempuanbugis
#wijaperempuanbugispulangKampung
#latifahfatihaputri
#babysholehah
#bayibugis
#babyputri

Kamis, 13 April 2017

Baby Putri Pulang Kampung

Anak Desa yang jarang Pulang kampung ini akhirnya pulang juga ke kampung Bundanya.

Meski pulangnya kali ini hanya ditemani Bunda (Papa nyusul insyaAlloh), alhamdulillah #babysholehah tidak rewel selama di perjalanan.

Sempat nangis pas waktu  hutan pertama di Camba, Maros. Ternyata penyebabnya karena perutnya gag enak dan berakhir Muntah dua kali (kena baju babyputri dan setelan bunda muntahan). Setelah muntah alhamdulillah enakan, dan tidur pulas.

Jalan yang berliku dan sebagian berlubang ditambah laju kendaraan yang mencapai kecepatan 80-120 KM per jam jadi penyebab utama.

Saya memperhatikan dengan baik jarum pengatur kecepatan setiap kali berasa mau terbang si kendaraan. Kebetulan Bunda dan baby putri pas duduknya di sebelah pak sopir.

Meninggalkan rumah (dijemput sopir) di jam 17.30. Kemudian keliling kota makassar jemput penumpang lain. Jadilah bertolak dari Kota Makassar pukul 19.12 dan tiba pukul 12.15 dini hari, itu sudah termasuk waktu istrahat kurang lebih 45 menit di camba.

Dalam perjalalan pulang, banyak hal yang jadi perhatian, mulai dari jalanan yang beragam, kejadian ini dan itu, sampai yang terakhir ada acara menu ayam 7 ekor di jalan gara2 mobil pengangkut ayam terlalu laju dan menyebabkan ayam yang diangkutnya jatuh satu persatu.

#ceritaWijaperempuanBugis
#wijaperempuanbugispulangKampung
#wijaperempuanbugis
#12April2017

Kamis, 06 April 2017

Project Handmade Pertama Bunda

Yeeeey...
Alhamdulillah dalam semalam Bunda bisa selesaikan project pertama "HandMade" alias "Jahit tangan".

Bunda buatin Rok dan Bandana untuk #babyputri  dari Perca kain alias kain sisa jahitan.

Semua Bunda buat dalam semalam dengan jahit tangan..

Berhasil alhamdulillah.

Meski jadinya agak sempit, karena perca kainnya kurang lebar, tapi alhamdulillah bisa dipake jalan deeeh pokoknya.

Selamat pake rok baru #babySholehah

#wijaperempuanbugis
#latifahfatihaputri